Thursday, October 16

dua novel wanita

Keduanya menyorot soal wanita. Nop, bukan dari sudut pandang orang kedua, ketiga, dsb, tapi sudut pandang aku. Keduanya mengisahkan dengan apik, this is me... sebagai wanita. Nidah Kirani dalam Tuhan, Ijinkan Aku Jadi Pelacur (Muhidin M. Dahlan), dan Kiki, dalam Let’s rock The Cyber (Yunis Kartika)

Hmmm... buku pertama, harus dibaca ’nyingit-nyingit’ alias sembunyi-sembunyi. Gara2 protes keras bapak yang ga respect blas ma judulnya, dan akhirnya berujung pada kecurigaan keinginanku untuk membacanya (mungkin beliau bakal tambah ngenes kalo tau aku membelinya, red: biasane modal pinjem.hehe)
Seharusnya sih ga perlu nyingit2, aya tau benar sifat bapak, begitupun sebaliknya. Saling percaya aja... tapi, yah... menghindari perdebatan yang lebih serius aja. Meski pada akhirnya, seperti yang aya pikir, Bapak diam saja dan maklum ketika tau aya masih setia membacanya :D

Kok malah ngelantur yak... oke, kembali ke pandangan masing2, soal gendernya sendiri, gender saya juga, kaum yang serius banget menampakkan eksistensinya, terutama akhir2 ini (dan herannya saya masih terkagum2 melihat ada satpam baru ditempat kerja saya yang cewek tulen, asli, manis pula..hehe. namanya Mbak Vika. Entahlah. Kekaguman saya masih bertaraf penasaran, karena sampe saat ini saya belum berhasil mendekatinya..ups!! jangan mikir macem2 ya...:P.... secara, kerjaan saya sebagai orang warehouse mewajibkan saya untuk berakrab-akrab dengan para security, polisi kami . So far..so good...mereka banyak membantu saya)

Buku kedua, boleh minjem dari sam Ijal. Hehehe... ceritanya ultah dia kemaren saya kado buku ini. Dy ngerti kale saya belum baca ne buku, jadi dia nawarin minjemin ne buku deh... Thx, Sam (lagi..lagi..) ada pemahaman baru yang saya dapat.

Soal isi, jelas keduanya berbeda. Bener2 ga bisa dibandingkan. Memang bukan itu yang ingin saya bandingkan. Novel pertama lebih mengulik pada ketuhanan (entah apa istilahnya...), seperti judulnya -yang sbenernya penuh dengan kehambaan, masih memohon ijin pada Dzat yang dia akui sendiri berada jauh diatas levelnya- ironi dengan segala pemberontakannya atas kuasa Tuhan...
Owh..owh... maaf, diluar konteks...
Tapi itulah salah satu ciri wanita yang tersirat dalam novel ini… aku kuat, namun juga mengakui kehambaannya… (red : kl terlalu luas menggunakan kata wanita, maka saya akan mengatakan, itulah saya, bukan wanita keseluruhan mungkin, tapi saya yang memang seorang wanita)

Melihat jauh ke dalam isinya, maka anda akan temukan banyak penyangkalan tentang penghambaan seorang wanita. Bahwa wanita bisa melakukan apa yang laki2 lakukan. Bahwa dibalik semua kegentle’an laki2, mereka pada akhirnya akan takluk di bawah pesona wanita. Sebut saja beberapa tokoh pria dalam novel ini. Seorang pemimpin aktivis sayap kiri, seorang kyai, bahkan seorang dosen yang masing2 menampakkan kegigihannya sebagai laki2, namun nyatanya, tunduk pula pada seorang Nidah Kirani (sang wanita pemberontak, begitu saya menyebutnya)
Pada akhirnya mereka menghamba pula pada wanita ini, mengiba2, merengek2, tak jauh beda dengan seorang bayi yang menangis mengharap air susu ibu akan melegakan tenggorokannya... hmmm... saya tau kondisi ini. Fakta yang sering saya temui...
Bukan soal Napoleon, Hittler, atau bahkan Aa’ Gym yang hilang masa keemasannya gara2 wanita, tapi ada beberapa kisah yang saya alami sendiri...

Satu titik, yap! Saya setuju dengan konteks ini. Wanita memiliki ”sesuatu” yang mampu menaklukkan kegentle’an laki2. Namun dibalik power itu, wanita tetaplah memang seorang penghamba. Hanya sekarang pemahaman saya, laki2 dan wanita adalah sama2 penghamba, tak bisa saling menjatuhkan, tak bisa saling menghindari. Keduanya adalah makhluk yang harus berjalan seiring, bukan berada didepan, atau dibelakang. Keduanya harus bekerja sama, saling
dukung, dan saling solid, untuk mendapatkan tujuan bersama.

Novel kedua semakin menguatkan pendapat saya. Dengan segala kemandiriannya, di beberapa celah, Kiki tetap membutuhkan bantuan laki2. mengakui dibalik kehebatannya dia masih membutuhkan bantuan kaum lain, Laki2... jadi jelas sudah bagi saya...

The power of women yang ditunjukkan kedua wanita diatas, banyak membuat kegentle’an laki2 menjadi berantakan. So, apa itu membuat kaum laki2 merasa ’kalah’? hmm.. itulah yang saya katakan menguatkan argumen saya. Wanita tetaplah wanita, dengan segala kadar dan kodratnya, yang jika mereka pandai mengolah apa yang ada dalam dirinya, akan menghasilkan kekuatan yang mungkin tidak akan mereka sadari. Laki2, juga dengan segala kodratnya, tetaplah juga seorang yang tidak akan bisa berjalan sendiri. Ada beberapa bagian yang mengharuskan mereka ’menghamba’ pada wanita... jadi, tak ada yang kalah dan menang buat saya... Kalau masih ada laki2 yang arogan menghendaki segala sesuatu berjalan dibawah kekuasaannya, dan tidak membutuhkan wanita, hehehe.... tunggu saja. Maka kisah2 Napoleon, Hittler, dsb bisa anda jadikan sebagai pelajaran, dan anda bisa menambahkan pengalaman anda dalam daftar itu...
Jika ada wanita yang juga dengan arogannya berkata tak membutuhkan laki2, maka bersiaplah untuk berada dalam sunyi. Karena takdir tak akan bisa diingkari. Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki2. tetap membutuhkan kegigihan laki2 untuk meluruskan tulang tersebut, dan hati wanita yang lembut untuk membuatnya tak patah ketika diluruskan...

Mungkin bagi sebagian orang akan sangat sulit untuk dipahami tentang kekuatan wanita ini, yang banyak mengubah paradigma masyarakat sekarang. Wanita begitu bebasnya mengekspresikan diri, seperti halnya kaum laki2... tak ada yang perlu diperdebatkan sebenarnya, jika masing2 gender mengakui kelemahannya, dan memahami benar porsi masing2 dalam peran dunia ini...

So, saling respect, saling menghargai, akan menghasilkan kekuatan baru yang lebih sempurna dibanding ego masing2. jika kedua hal tersebut terus diperdebatkan, saling hajar menghajar, yang lahir hanyalah pertanyaan2 yang semakin menyesatkan, penyesalan, perdebatan tiada ujung , konflik2 yang melahirkan pembantaian paradigma, seperti yang terjadi dalam dua buku diatas. Mungkin novel pertama yang lebih menampakkan hal tersebut... novel kedua, sepertinya lebih memilih untuk berdamai, dan kembali pada porsi masing2, karena beberapa pihak masih bisa saling menghormati keputusan masing2...

Dan aliya?? Berusaha untuk lebih mengenal diri, menggali lebih dalam ”kekuatan” itu, semoga bukan untuk ”menghancurkan” tapi untuk menciptakan kehidupan pribadi yang lebih baik... yah, aliya hanya sedang belajar untuk menjadi wanita.. yang mengetahui porsinya dengan baik, yang tetap berada pada jalur kewanitaan, yang tetap berusaha ”trimo ing pandum”, bukan berarti mengalah pada kodrat, tetapi mempelajari alasan dibalik penciptaan aturan2 bagi wanita dan laki2 yang disebut kodrat....

No comments: